lindungi bangsa, lindungi orang tercinta, lindungi diri kita sendiri..
Photobucket

Pentas Drama

Posted by Gayatri Perdanaga Halinsetya On Minggu, 03 Oktober 2010 0 komentar

“Maukah kau menjadi pasanganku nanti malam, Putri Seudati? Hanya semalam, sesudah itu kita berpisah. Kau bebas pergi bersama ke kasihmu. Ke lembah, ke gurun. Berkuda seharian sampai lelah.” Pria itu menumpukan kedua belah telapak tangannya di lutut Putri Seudati. Dia merendahkan dirinya serendah-rendahnya. Karena dia berharap, Putri Seudati mau menjadi kekasihnya semalam. “Bagaimana?”
“Aku….. Aku….” Putri Seudati gugup.
Tiba-tiba, “Cut! Cut! Ngomong kok gugup begitu. Udah, break dulu sejam. Nanti kita lanjutkan,” ucap Sam ngedumel. Dia bersungut-sungut sambil meninggalkan ruangan syuting.
Pria yang merayu Putri Seudati mengeluh seraya melemparkan topi bulunya. Dia adalah Tom. Murid kelas tiga SMU 18. Kebetulan sekali dia menjadi pasangan Rieke, yang berperan sebagai Putri Seudati.
“Kenapa sih permainanmu buruk! Padahal pementasan tinggal separuh bulan lagi. Bisa ditaruh di mana muka kita dengan peranmu yang kedodoran dan agak bloon.” Tom memukul kepalan tangannya sendiri.
Rieke mendengus. Hidungnya kembang-kempis. Emosinya hampir saja meledak. Seumur-umur, dia belum pernah diperlakukan begitu oleh seorang pria. Apalagi pria sekucel Tom. Tapi Rieke selalu tidak dapat berbuat banyak di depan Tom. Dia hanya mampu menangis atau mengigit sapu tangan di depan pria sombong itu.
“Tapi, aku sudah mencoba, Tom!”
“Mencoba!” Tom meledek. “Kau memang pantas menjadi piguran saja. Pemeran pembantu! Sudah, aku pulang saja! Bertengkar denganmu hanya membuat tubuhku kurus!”
“Tapi Tom, nanti Sam….” Rieke mencoba menahan langkah pria itu.
“Sebodo!” Tom menghilang di balik pintu.
* * *
Rieke tidak menyangka bisa takluk di hadapan Tom. Padahal apa sih kehebatan pria sombong itu. Rieke menyadari dia memiliki kharisma. Bahkan tatapannya yang lembut itu, mampu membuat wanita klepak-klepek. Tapi kenapa dia mampu menguasai Rieke yang setegar karang?
“Makan apa melamun, Mbak?” tanya Lika setengah mengagetkan. Rieke tersedak. Batang sayur kangkung yang dikunyahnya, tiba-tiba menempel di tenggorokan. Cepat-cepat dia minum. Cepat-cepat dia mencubit Lika yang nakal. Sayang, yang dicubit keburu berlari.
“We, nggak kena!” Lika menjulurkan lidahnya. Rieke meraih sendal. Tapi dia urung melemparkannya ke Lika. Mama tiba-tiba datang dan mengomel.
“Kalian ini, acara makan pun dibuat mainan! Lika, hentikan tarianmu!” Mama membentak. Lika buru-buru menutup pintu kamar sambil cekikikan. Sementara Rieke hanya bisa mendengus keki. Dia langsung meninggalkan meja makan.
“Eh, nasinya dihabiskan dulu!” protes Mama.
“Kenyang, Ma!”
“Dasar anak sekarang, selalu saja membuat pening kepala,” sungut Mama.
Rieke tidak mendengar lagi ocehan Mama. Pikirannya telah melambung kepada Tom. Ah, pria itu, kenapa mampu membuat Rieke mengharu-biru? Padahal wanita tomboy ini bertekad tidak cinta-cintaan dulu sebelum kuliah. Namun kenapa sekarang lain keadaannya?
Berperan sebagai Putri Seudati untuk pementasan drama minggu depan di kampus kuning, memang anugerah bagi Rieke. Dia akhirnya bisa berdekatan lebih lama lagi dengan Tom. Karena selama ini, dia hanya dapat melihat Tom dari jauh. Mengaguminya diam-diam setiap kali Tom ikut pementasan drama.
Hmm, entah angin darimana, dia mendadak dipilih Tom untuk pementasan drama itu. Suatu kesempatan baik tentu. Sayang, Rieke selalu terbawa perasaan ketika beradu dialog dengan Tom. Dia lebih banyak gagap ketimbang berbicara. Bahkan dia tidak mampu melawan sedikit pun ketika Tom membentaknya.
* * *
“Rieke! Sorry ucapanku yang kasar kemarin,” ucap Tom dengan nada bersalah. Rieke tidak menjawab. Dia semakin mempercepat langkahnya. Tapi pintu kelas yang dituju seolah berjarak sekian kilometer lagi jauhnya. “Ke!” Tom berdiri persis di depan hidungnya.
Wajah Rieke bersemu merah. Dia malu berat. Murid-murid SMU 18 yang melihat gelagat romantis dari Tom, bersuit-suit nakal.
“Kenapa?”
“Aku minta maaf, Rieke! Kemarahanku kemarin mutlak karena aku bertanggungjawab demi suksesnya pementasan ini.”
“Aku tahu.” Rieke melipatkan kedua belah tangan di depan dadanya. Sepertinya putri tomboy ini mulai berani menentang Tom.
Tom mendengus. “Tapi tujuan dari pementasan itu mempunyai arti lain bagiku. Sangat berarti, Ke! Aku…”
Tiba-tiba bel berbunyi. Tom tidak jadi melanjutkan pembicaraannya. Sebelum masuk ke kelasnya dia berkata, “Kutunggu kau di kantin. Akan kujelaskan semua kepadamu, Ke!”
Rieke risau. Selama pelajaran berlangsung, pikirannya hanya tertuju pada ucapan Tom. Apakah makna ucapannya itu? Apakah sesuatu yang berarti bagi Tom di balik pementasan drama nanti? Bisa berdekatan lebih lama dengan Rieke-kah tujuannya? Atau apakah dia ingin menjadikan Rieke sebagai pacarnya?
Ada sekuntum bunga tiba-tiba mekar di lubuk hati Rieke. Ada kehangatan menjalar sampai ke ubun-ubun. Ah, sekarangkah waktunya dia harus mengingkari janjinya sendiri? Mengingkari janji untuk tidak pacaran sebelum kuliah. Hmm, kalau maksud hati lain, perduli amat dengan janji-janji.
“Hai!” Akhirnya Rieke mendatangi Tom yang sudah menunggu di kantin. Dia duduk di sudut ruangan sambil menghirup teh manis. Ketika melihat Rieke, dia langsung melambai.
“Bagaimana? Sudah siap latihan nanti malam?” tembak Tom langsung.
Rieke jengah bercampur kesal. Bagaimanapun, dia sebenarnya tidak menginginkan Tom berbicara ngalor-ngidul. Dia ingin Tom berbicara tepat sasaran.
“Tom, tadi kau ingin membicarakan apa?”
“Yang mana?” Tom berlagak pikun.
“Tentang arti lain pementasan bagimu,” ucap Rieke tegas. Tom membuang pandang. Dia berdiri dan mengambil sebotol minuman untuk wanita itu.
Lama dia terdiam. Tapi akhirnya berbicara juga setelah Rieke mendengus beberapa kali.
“Ke, sebenarnya aku malu menceritakan ini kepadamu. Tapi demi menstimulus jiwa peranmu, tak apalah.” Dia menarik napas panjang sejenak. “Ke, kukatakan pementasan ini sangat berarti bagiku, sebab Sam pernah berjanji akan memberikanku nilai lebih, apabila pementasan drama berakhir sukses.”
“Nilai lebih itu, maksudmu uang, Tom?” Rieke berharap Tom menggeleng. Tapi dia malahan mengangguk tegas, sehingga Rieke merasa tubuhnya menjadi kuyu. Persis selembar daun tua yang gugur dan jatuh ke tanah. “Betapa komersilnya otakmu, Tom. Aku tidak menyangka kau teramat naïf di balik keangkuhanmu!”
“Tapi uang itu sangat kubutuhkan, Ke!”
“Untuk apa? Foya-foya? Atau membeli obat terlarang?” cecar Rieke. Dulu dia memang pernah mendengar masa lalu Tom yang kelam. Sebelum sibuk menjadi aktor drama pentas, Tom diisukin pernah kecanduan obat terlarang. Bahkan ketika kelas satu SMU, dia pernah diskorsing dua bulan karena kedapatan ngobat di toilet sekolah.
“Tidak!” Mata Tom seakan ingin menelan Rieke bulat-bulat. Rieke seperti melihat bara api yang amat panas di mata itu. “Ikut aku!” bentaknya. Dia langsung menyeret paksa Rieke.
“Tidak mau! Aku masih ada pelajaran setengah jam lagi!”
Tom tidak perduli penolakan Rieke. Dia menarik wanita itu sehingga membonceng di motor bututnya. Lalu keduanya membelah jalanan ibukota yang mulai macet.
Rieke masih ingin bertanya lebih banyak lagi. Tapi setiap kali akan membuka mulut, Tom langsung membentaknya. Akhirnya Rieke membisu, sampai suatu saat motor berhenti di depan sebuah rumah setengah permanen.
“Ini rumah siapa?”
“Ikut!” Tom membawa Rieke ke dalam sebuah kamar.
Rieke terkejut. Dia melihat sesosok pria kurus kering tengah terbaring di atas kasur tipis. Matanya cekung, sehingga mempertontonkan ceruk teramat dalam. Rambutnya awut-awutan dan berwarna merah. Rieke mecium bau pengap di situ. Bercampur aduk antara bau keringat dan pesing. Tom yang masih kesal, membuka jendela kamar sedikit demi sedikit. Barangkali dia takut pria yang terbaring itu terbangun.
“Siapa dia?”
“Adikku!” jawab Tom tanpa menoleh. “Inilah yang membuatku berjuang sekuat tenaga untuk mendapat uang lebih dari Sam.” Dia terduduk lesu di sebelah pria kurus itu. “Dia sama sepertiku. Seorang pecandu narkoba. Bedanya aku sekarang berubah dan kembali bersekolah. Sedangkan dia, tidak! Kecanduannya terhadap narkoba sudah berlebihan. Sampai sekarang dia sekarat karena tidak bisa memuaskan kecanduannya.
Kau tahu betapa mahal harga obat-obat terlarang itu? Bagaimana mungkin dia dapat memperolehnya?”
Rieke tersentuh. Dia tertunduk sambil menyeka air mata. “Berarti uang lebih dari Sam, akan kau gunakan membeli narkoba untuk adikmu?”
Tom menggeleng. “Tidak! Aku hanya ingin mengobatinya. Aku ingin dia berubah sepertiku. Dapat bersekolah dan tahu masa depannya. Tapi semua itu dapat terwujud hanya dengan uang, Ke! Kau tahu, selain akan memperoleh uang lebih dari Sam, aku juga berharap Sam akan mengorbitkanku menjadi bintang sinetron. Dia toh banyak relasi di pertelevisian. Dengan begitu aku akan lebih mudah mengobati adikku.”
Rieke menggenggam jemari Tom erat-erat. “Sekarang aku mengerti, Tom. Aku akan membantumu dengan menunjukkan permainan terbaikku pada pementasan drama minggu depan. Aku juga berharap, setidak-tidaknya ada pihak pertelevisian yang menonton dan kepincut permainanmu, Tom.”
“Juga permainanmu, Rieke!” Tom membalas genggaman Rieke lebih erat.
* * *
Hampir jam delapan malam, tapi Tom belum muncul juga. Padahal pementasan drama akan dimulai setengah jam lagi. Sam blingsatan. Berulangkali dia minum. Berulangkali pula mengumpat keterlambatan Tom.
Rieke tidak kalah cemasnya. Kalau sampai pementasan drama malam ini gagal, maka punah sudah harapan Tom mengobati adiknya. Sam pasti akan mendepaknya karena merasa dipermalukan. Dan Rieke tahu itu. Di otak Sam hanya ada uang dan ketenaran. Tidak perasaan!
“Aduh ke mana sih kau, Tom? Ayo muncullah, sebelum Sam memberikan peranmu kepada Martin. Tolonglah, jangan membuat renacana yang kita bangun rapi, porak-poranda hanya karena persoalan sepele,” gumam Rieke sambil bercermin.
Tapi Tom tidak datang juga. Sampai pementasan drama berakhir, batang hidungnya tetap tidak kelihatan. Sam benar-benar naik pitam. Pementasan drama mereka kedodoran, karena yang menjadi aktor utama adalah Martin. Dengan kondisi serba kacau, mereka hanya memperoleh juara paling buncit.
“Aku memecatnya malam ini. Titik!” tekannya seakan berbicara kepada Rieke.
Rieke hanya mengeluh kesal. Ketika menunggu Papa menjemputnya, tiba-tiba Ramadhan datang dengan wajah pucat. Dia langsung menarik Rieke ke belakang panggung.
“Gawat, Ke! Gawat berat!” katanya terbata-bata.
“Gawat kenapa?”
“Adik Tom yang sekarat itu, tadi siang benar-benar sekarat. Tom membawanya ke rumah sakit. Tapi karena tidak memiliki uang, Tom dan adiknya tidak diperdulikan di sana. Akibatnya, adik Tom meninggal. Sekarang jenazahnya sudah dikirim ke kampung.”
“Masya Allah! Tom-nya bagaimana?”
“Dia shock berat. Tapi dia masih tegar mengantarkan adiknya ke kampung. Menurut selentingan yang aku dengar, mungkin Tom akan lama di kampungnya. Atau bisa jadi dia tidak akan kembali lagi ke sini.”
Rieke merasakan pijakannya goyah. Dia limbung. Ramadhan bergegas memapahnya ke atas kursi.
“Sabar, Ke! Tenang!” saran Ramadhan.
Rieke hanya menerawang. Usahanya membantu Tom untuk mengobati adiknya, ternyata sia-sia. Sementara Tom yang diam-diam dicintainya, sekarang sudah pergi dan belum tentu akan kembali. Tapi yang paling dicemaskan Rieke, manakala Tom tidak tabah menerima semua cobaan ini.
Ah, akankah dia menjadi menjadi pecandu narkoba lagi seperti dulu? Tom, ingatlah, bahwa narkoba tidak akan menyelesaikan masalahmu. Tapi dia lambat-laun akan menimpakan berlaksa masalah tanpa kamu sadari. Ingatlah aku saja, Tom. Rieke yang diam-diam tetap mencintaimu.

0 komentar:

Posting Komentar


ShoutMix chat widget